Wednesday, November 14, 2007

Wajah Islam Egaliter

Fenomena ketidaksetaraan gender di dunia Islam benar-benar nyata. Tidak heran jika dewasa ini Islam mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan yang disebut dengan ketidakadilan gender.[1]
Tidak heran jika dewasa ini agama mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah atas berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan yang disebut dengan ketidakadilan gender.[2]
Ada beberapa pertanyaan yang sampai sekarang selalu menjadi bahan kajian tentang peran perempuan. Kenapa laki-laki lebih dominan dalam peran-peran publik, sementara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah tangga? Apakah karena memang sudah merupakan kodrat alami sehingga masing-masing sudah memperoleh pembagian tugas seperti tadi? Atau hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan perempuan berkompetisi secara obyektif dengan laki-laki? Atau domestikasi perempuan itu memang berangkat dari asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki sehingga sepantasnya laki-laki mendominasi kehidupan? Setidaknya ada tiga kelompok Islam yang merespon secara berbeda fenomena ini.
Pertama, ada sejumlah anggapan bahwa pada dasarnya Islam yang ditunjukkan dalam sejumlah doktrin al-Quran secara esensial memang bertentangan dengan upaya kesetaraan gender yakni melanggengkan budaya patriarki. Alasan umum yang dikemukakan dalam pandangan ini adalah bahwa al-Quran menjunjung tinggi aspek kodrat dari kemanusiaan. Laki-laki dan perempuan secara kodrati memang berbeda, sehingga al-Quran turun hanya sebagai penegas dari posisi kodrati tersebut. Alasan ini biasanya dipakai oleh mereka yang memang masih mengusung atau setuju dengan konsep patriarki.
Penafsiran al-Quran masih dijadikan dasar untuk menolak kesetaraan gender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi dalam mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin utama, dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). Anggapan seperti ini mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan membentuk etos kerja yang timpang antara kedua jenis hamba Tuhan tersebut.
Menurut Asghar Ali Engineer, pemikir dan teolog Muslim dari India yang secara serius menekuni kajian tentang perempuan, secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarkal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dominasi peran laki-laki, menurut Asghar dibenarkan oleh norma-norma kitab suci, seperti al-Quran yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk melanggengkan dominasi mereka.[3]
Kelompok kedua yang juga mendukung bahwa al-Quran pada dasarnya patriarki muncul dari mereka yang mengusung ide kesetaraan gender itu sendiri. Mereka memandang bahwa al-Quran turun dalam konteks dan kondisi sosial yang patriarki. Sementara sifat esensial al-Quran adalah responsif terhadap konteks yang ada. Pemikiran di luar patriarki terlalu sulit pada masa itu, sehingga al-Quran mustahil mengusung ide-ide kesetaraan. Yang mungkin dilakukan oleh para penganut Islam saat ini adalah melakukan penafsiran ulang terhadap konsep patriarki al-Quran agar sesuai dengan tuntutan zaman, pada tingkat tertentu al-Quran bahkan harus di”buang” agar sesuai dengan perkembangan zaman. Prinsip mereka adalah maqâsid al syarî’ah. Segala doktrin tidak bisa bertentangan dengan kemaslahatan umum (maslahah ammah). Amina Wadud menyatakan: “The mere fact that the Qur’an was revealed in seventh-century Arabia when the Arabs held certain parcepcions and misconceptions about women and were involved in certain specific lewd practices against them resulted in some injunctions specific to that culture.”[4]
Sekalipun secara normatif al-Quran memihak kepada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara tekstual al-Quran memang menyatakan adanya kelebihan bagi kaum laki-laki atas perempuan, dengan mengabaikan konteks sosialnya. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan lak-laki dan perempuan. Untuk melihat hal ini, bagi Asghar, diperlukan tinjauan sosio-teologis. Para mufasir, kata Asghar, sangat disayangkan karena berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian normatif.[5] Misalnya beberapa contoh ayat al-Qur’an ditafsirkan dalam kitab-kitab klasik yang menjadi acuan para ulama dengan menekankan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosial kultural waktu tafsir itu dibuat yang sangat mendiskriminasikan perempuan.
Surah an-Nisâ΄/ 4: 34 menyatakan “Al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al- nisâ’” (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan). Para mufasir memberi penjelasan beraneka ragam terhadap ungkapan “kaum laki-laki adalah qawwâmûn.” At-Thabari menegaskan bahwa qawwâmûn adalah penangggung jawab (ahl al-qiyâm). Itu berarti bahwa laki-laki bertanggungjawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suami.[6] Ibn Abbas mengartikan qawwâmûn adalah pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan.[7] Sedangkan al-Zamakhsyari menekankan bahwa kata itu berarti kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’rûf nahy munkar kepada perempuan sebagaimana penguasa kepada rakyatnya.[8]
Ketiga, kelompok yang menyatakan bahwa pada dasarnya al-Qur’an mendukung misi kesetaraan gender. Misi utama al-Quran adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan, dan ketiakadilan (an-Nahl/16: 90), keamanan (an-Nisâ΄/4: 58), dan mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Āli `Imrân/3: 104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqâsid al-syarî’ah (tujuan utama sayariat).[9] Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan tujuan syariat, maka harus ada peninjauan ulang atas penafsiran tersebut. Allah Maha Adil, maka tidak mungkin di dalam kitabNya terkandung sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Adalah Asma Barlas yang memberikan seperangkat metodologi bagaimana memberikan pembacaan baru terhadap al-Quran yang tidak bias gender, melainkan memberikan dukungan penuh terhadap apa yang ia sebut “karakter egalitarian dan antipatriarkal dalam al-Quran.”
Karakter egalitarian dan antipatriarkal menjadi sangat penting, sebab tema-tema inilah yang kerapkali luput dari pembacaan terhadap al-Quran selama ini. Asma Barlas memberikan penekanan pada dua hal. Pertama, menentang pembacaan al-Quran yang menindas perempuan. Kedua, menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran al-Quran. Asma Barlas kemudian mengajukan dua pertanyaan penting. Pertama, apakah kitab al-Quran mengajarkan ketidaksetaraan dan penindasan? Kedua, apakah al-Quran mendorong atau mengizinkan pembebasan terhadap perempuan?[10]
Bagi Asma Barlas, kunci utama untuk menampilkan wajah Islam yang egaliter adalah melalui cara membaca kembali al-Quran. Ketika al-Quran dibaca akan muncul beberapa kemungkinan hasil bacaannya. Mereka yang membaca al-Quran dengan kaca mata patriarkis, maka akan dihasilkan pembacaan yang tentu juga patriarkis. Barlas mengakui bahwa cara baca terhadap al-Quran yang berkembang di masyarakat memang sangat kental dengan nuansa patriarkal.
Berbicara tentang perempuan, Barlas menggunakan argumentasi historis (sejarah) dan hermeneutik. Argumentasi sejarah menjelaskan pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarki. Sedangkan argumentasi hermeneutik dipakai untuk menemukan apa yang Barlas sebut epistemologi egalitarianisme dan antipatriarkalisme dalam al-Quran.
Ada tiga isu utama yang diambil oleh Barlas dalam menganalisa penafsiran al-Quran, khususnya mengenai penerapan prinsip egalitarianisme al-Quran untuk isu perempuan. Pertama, soal patriarki. Istilah ini yang menjadi sorotan Barlas, karena adanya wacana yang berkembang, tidak hanya dalam Islam tapi dalam agama lainnya, tentang dominasi corak patriarkal di dalam menafsirkan teks-teks utama agama-agama, termasuk Islam. Barlas menolak adanya patriarkisme di dalam al-Quran apabila yang dimaksud adalah aturan kebapakan atau politik pengistimewaan laki-laki.
Kedua, isu-isu seksualitas dan jender dalam Islam, khususnya di sekitar isu persamaan, perbedaan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Untuk konsep ‘persamaan’, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian kalangan feminis, menurut Barlas, itu tidak sesuai dengan al-Quran. Persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa keduanya memiliki kemampuan yang sama sebagai agen moral untuk sama-sama memiliki tugas-tugas kemanusiaan yang tidak berbeda. Allah tidak pernah membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, kekayaan, kebangsaan, atau konteks sejarah, melainkan ketakwaannya. Al-Quran Surah al-Hujurât/49: 13 menyebutkan: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.”
Ketiga, tentang keluarga dan perkawinan. Bagi Barlas, sistem keluarga dalam Islam tidak menunjukan nilai-nilai patriarkal. Selama ini memang ada anggapan bahwa lembaga keluarga dan juga perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya budaya patriarkal dalam Islam. Dia menganalisis pandangan al-Quran tentang ibu dan ayah, dan tentang suami dan istri, serta membedakan pandangan al-Quran dari pemikiran patriarkis (Barat) maupun kaum feminis.

[1] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h. 36.
[2] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 36.
[3] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cicik Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSPPA, 2000), h. 63.
[4] Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), h. 9.
[5] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, h. 69.
[6] Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayât al-Qur’an, Jilid 14 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 57.
[7] Ibn ‘Abbâs, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs. Penyunting Abu Tahrir Ibn Ya’qub al-Fayruzabadi (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 69.
[8] Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1977), h. 523.
[9] Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu (TUK), 2002), h. 1.
[10] Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 9.

No comments: