Wednesday, November 14, 2007

Diskursus tentang Pernikahan Beda Agama

Perdebatan mengenai pernikahan beda agama akhir-akhir ini muncul kembali, walaupun sesungguhnya bukan hal baru. Tetapi sangat menarik untuk diperbincangkan sehubungan dengan timbulnya kasus-kasus orang tertentu. Pernikahan merupakan salah satu keutamaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya di bumi ini, karena manusia adalah khalifah fi al-ardh, yang diserahi tugas untuk mengelola kehidupan di muka bumi ini. Oleh karena itu manusia dianjurkan untuk menikah, antara lain agar supaya terjadi adanya generasi yang terus berlanjut sampai akhir zaman.
Adapun yang jadi permasalahanya ketika seseorang memiliki pasangan beda agama dan keyakinan adalah pandangan masyarakat yang kerapkali negatif, mereka tidak melihat dari sisi perasaan yang sudah dibangun oleh kedua pasangan tersebut. Karena asumsi yang telah terbangun di masyarakat adalah bahwa pasangan yang menikah beda agama itu telah melakukan perzinahan, menyalahi agama, dan lain-lain.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian disampaikan dan dijelaskan kepada umatnya. Karena itu, agama yang benar adalah yang selamanya merupakan ciptaan dan berasal dari Allah, tidak dari yang lain-Nya, sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 19, yang artinya: “sesungguhnya agama Islam berasal dari Allah SWT”. Di dalam al-Qur’an sendiri ditegaskan bahwa tidak ada satu kaum pun yang tidak didatangi oleh utusan Tuhan dan begitu juga tidak ada satu masa yang tidak memiliki kitab suci. Para nabi dan rasul Allah diutus kepada umat yang berbeda dan masa yang berbeda pula. Namun demikian, mereka membawa pesan yang identik dan universal, yaitu agar umat manusia tetap menyembah Allah Yang Maha Esa dan selalu melakukan perbuatan yang bermoral. Di dalam al-Qur’an terkandung nilai-nilai dasar yang kemudian dijadikan pedoman oleh umat Islam. Nilai-nilai dasar tersebut akan sangat bervariasi ketika diterjemahkan, ditafsirkan, dan diaktualisasikan ke dalam realitas.
Oleh karen itu, persoalan pernikahan beda agama itu sangat erat dengan penafsiran dan pada akhirnya menentukan hukum halal atau haram. Sebaiknya kita kembalikan kepada Kalam Ilahi yang satu-satunya rujukan bagi penentuan hukum.
Senantiasa ada dua dimensi di situ, meminjam istilah das sein dan das solen yang masing-masing merujuk pada dimensi historisitas dan dimensi normativitas, maka kedua dimensi tersebut bagi umat Islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Wilayah das solen ajaran agama Islam menyatu dengan praktek keseharian wilayah das sein sejarah kemanusiaan. Pergulatan antara das sein dan das solen sebetulnya dimulai sejak awal kemanusiaan itu lahir, maka adalah sangat naif kiranya jika hanya memfokuskan diri pada wilayah das solen (normatifitas) dengan mengabaikan historisitas kemanusiaannya, karena teks-teks al-Quran itu sendiri sebagai wahyu Allah, tidak berbicara pada ruang hampa ketika ia menyapa manusia, melainkan senantiasa merupakan respon terhadap realitas sosial yang ada saat itu. Maka dengan demikian, al-Quran akan kehilangan maknanya ketika ia ditanggalkan dari konteksnya. Penafsiran yang dilakukan secara atomistis dan terpilah-pilah hanya akan menghilangkan keutuhan makna al-Quran serta terjebak pada simbol yang pada akhirnya tidak akan mampu menangkap makna al-Quran yang sesungguhnya. Disamping itu, produk penafsiran yang mengabaikan setting turunnya ayat-ayat al-Qur’an, juga seringkali mereduksi universalitas ajaran al-Qur’an itu sendiri.

Listing Masalah
Isu pernikahan beda agama menjadi isu kontroversi dalam sejarah Islam. ada beberapa alasan kenapa hal ini menarik jadi bahan perdebatan: pertama, sudah jelaskah konsep musyrik dan ahl-kitab? Apakah penganut agama yang sekarang seperti Kristen dan Yahudi termasuk dalam kategori musyrik? Karena sebagian masyarakat muslim beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-muslim, termasuk diantaranya yaitu Yahudi dan Kristen. Kedua, kenapa pernikahan seorang perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim dilarang? Pelarangan ini semata-mata hanya didasarkan kepada ijtihad bahwa seorang perempuan muslim yang menikah dengan laki-laki non-muslim akan merasa kehilangan haknya ketika berada di lingkungan keluarga yang non-muslim, yang seharusnya mereka nikmati jika berada dalam lingkungan muslim. Seorang istri akan mengikuti tradisi suaminya dan suami akan mempengaruhi statusnya sebagai perempuan muslim. Ketiga, pasangan muslim dan non-muslim, perkawinan mereka disamakan dengan orang yang berbuat zina, orang yang menyalahi aturan agama.

Pernikahan antar Agama
Berkaitan dengan masalah pernikahan beda agama, pada umumnya ayat-ayat al-Quran yang dipegang oleh para ulama adalah surah al-Baqarah ayat 221 :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ .

Artinya: “dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah/2:221)
Ayat ini menunjukkan pelarangan bagi umat Islam untuk menikah dengan orang-orang musyrik. Sebab, para nabi diutus untuk menghapuskan kemusyrikan di muka bumi ini. Karena mustahil orang-orang yang musyrik itu melahirkan sesuatu yang bermoral. Oleh karena itu, kalimat terakhir dalam ayat ini menegaskan sebab pelarangan bagi ummat muslim untuk menikahi kaum musrikin: “…karena mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak kesurga…”.
Pada ayat yang lain, 215-242 surat al-Baqarah, terdapat pembicaraan tentang penetapan hukum di bidang zakat, perang di bulan haram, khamar dan judi, anak yatim dan aturan-aturan kekeluargaan. Di dalam konteks yang terakhir ini dikemukakan larangan untuk menikahi orang musyrik. Istilah musyrik dalam ayat ini merujuk kepada masyarakat politeis, penyembah berhala, yang didalam al-Qur’an merupakan masyarakat sendiri yang tentunya dibedakan dengan masyarakat keagamaan yang lain.1
Di sisi lain, surat al-Baqarah ayat 221 di atas turun dalam konteks masyarakat Madinah yang cukup homogen dimana umat Islam saat itu masih sangat sedikit, ditambah lagi situasi dan kondisi kebencian dan peperangan antara kaum musyrik dengan umat Islam terus berlangsung, sehingga Nabi Muhammad dan kaum Muslimin diusir dari kampung halamannya. Ayat sebelumnya (al-Baqarah/ 2:220) memaparkan tentang persoalan anak yatim yang jumlahnya semakin bertambah banyak disebabkan oleh peperangan, sedangkan di ayat 221 dibahas mengenai larangan pernikahan dengan kaum musyrik karena bertentangan dengan tujuan kedatangan Islam itu sendiri, yakni untuk membasmi kemusyrikan. Oleh karena itu, melakukan pernikahan dengan kaum Musyrik yang senantiasa memusuhi dan memerangi Islam, selain dianggap bertentangan dengan tujuan Islam, juga akan menimbulkan banyak permasalahan dan kesulitan yang sangat besar, terutama dalam kondisi peperangan yang tengah berlangsung saat itu.
Ayat ini hanya melarang perkawinan seorang muslim dengan musyrik. Muhammad Abduh dan Rasyid Rida menjelaskan bahwa yang dikehendaki dengan perempuan-perempuan musyrik dalam ayat ini terbatas pada perempuan musyrik Arab di masa Nabi. 2 Alasan lain bahwa dalam teks ayat itu di samping disebutkan larangan menikah dengan orang musyrik juga diikuti anjuran menikah dengan budak. Jelas, konteksnya yaitu orang musyrik di masa nabi dan sekarang tidak ada lagi.
Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara musyrik dan ahlul kitab, karena kedua kelompok tersebut dalam realitasnya sama saja, seperti yang dikatakan oleh sahabat Nabi SAW, dari Abdullah ibn Umar yang mengatakan bahwa: “saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan”. yang dimaksud dengan “seseorang yang mengaku Tuhannya adalah Isa atau salah satu hamba Tuhan” adalah orang Kristen dan Yahudi.3
Karena itu, perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenarnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai orang musyrik, yang kemudian haram dinikahi oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah, tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli, dan tidak seorang pun nabi yang mereka percayai. Adapun ahlul kitab adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah dan amalan. Sedangkan yang disebut orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari ahli kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.4
Jelaslah perbedaan antara kaum musyrik dan ahli kitab, oleh karena itu tidak lah benar jika mencampuradukan antara keduanya; dimana musyrik diartikan ahli kitab dan ahli kitab diartikan musyrik.
Ayat berikutnya adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Mumtahanah/60:10)
Ayat lain yang seringkali dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama adalah surat al-Mumtahanah, 60:10. Surat al-Mumtahanah turun beriringan dengan peristiwa perjanjian Hudaibiyah yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan kaum musyrik Quraisy (628 M). Ada baiknya jika sekilas kembali menengok ke belakang, peristiwa sejarah yang terjadi di balik turunnya ayat ini.
Perjanjian ini lahir ketika Nabi beserta 1.400 orang pengikutnya berniat mengadakan ziarah ke Mekkah dan ternyata setelah sampai disana, Nabi beserta kaum Muslimin tidak diperbolehkan memasuki kota tersebut oleh kaum musyrik Mekkah. Maka akhirnya diadakanlah perjanjian antara kedua belah pihak, yang menghasilkan beberapa kesepakatan, diantaranya: apabila ada orang dari pihak Quraisy datang kepada Muhammad atau melarikan diri dari mereka tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang datang kepada pihak Quraisy yakni melarikan diri dari dia, maka tidak akan dikembalikan pada Muhammad. Point dari perjanjian inilah yang sangat penting di sini, karena setelah perjanjian ini ditanda-tangani, Abu Jandal, anaknya Suhail bin Amr, datang kepada Nabi dan mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan kaum Muslimin. Suhail ternyata mengetahui hal ini, dia marah besar, kemudian anaknya dipukul, direnggut kerah bajunya untuk kemudian dikembalikan kepada kaum Musyrik Quraisy. Saat itu, Abu Jandal berteriak dengan keras, “wahai kaum Muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang Musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku?” kemudian Rasulullah berkata: “wahai Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan kepada orang-orang yang lemah yang bersamaan. Kami telah mengikat perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan kita tidak boleh menghianati mereka.” Setelah peristiwa itu ada beberapa orang perempuan Mukminin datang berhijrah ke Madinah, Ummu Khultum binti ‘Uqba bin Mu’ait keluar dari Mekkah. Kemudian saudaranya, Umara bin Walid menyusulnya dan menuntut kepada Nabi supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian. Tetapi Nabi menolak permintaannya, karena isi yang termaktub dalam perjanjian tidak mencakup kaum perempuan. Disamping itu, perempuan yang sudah masuk Islam tidak sah lagi bagi suaminya yang masih kafir Musyrik, oleh karena itu mereka harus berpisah. Maka dalam hal inilah firman Allah surat al-Mumtahanah turun5.
Berangkat dari argumentasi yang terbangun dalam ayat di atas, para ulama sepakat untuk melarang pernikahan beda agama, yang kemudian pelarangan itu dianggap sebagai ijma. Sementara ijma dalam pendangan mereka adalah salah satu sumber hukum Islam. Dan Indonesia menjadi salah wahana yang sangat subur bagi pemutlakan pandangan para ulama tersebut. Diketahui bahwa mayoritas muslim Indonesia bermazhab Syafi’i. Sehingga tak heran UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 bisa disahkan dengan mudah. Negara sama sekali tidak memberikan ruang bagi praktik pernikahan beda agama. Dan hal ini lebih diperparah oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980 yang juga mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, dan sebaliknya. Alasan mereka sederhana, kerusakan yang ditimbulkan dari perkawinan beda agama lebih besar ketimbang kebaikan yang didatangkannya, yang terutama kerusakan itu lebih banyak dialami kaum muslimin.
Ada baiknya kita menengok Undang-undang yang tidak toleran tersebut, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beda agama.

Pernikahan Beda Agama Menurut UU Perkawinan No. I Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan No. I tahun 1974 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 terdiri atas 14 bab dan 67 pasal. Undang-undang tersebut merupakan upaya masyarakat Indonesia untuk menciptakan hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam butir 3 penjelasan umum Undang-undang tersebut. Dengan berlakunya Undang-undang tersebut maka semua perundang-undangan yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku sejauh materinya sudah diatur dalam Undang-Undang No I Tahun 1974. Seperti yang telah ditegaskan dalam pasal 66 yang berbunyi:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Cristen Indonesier S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur oleh Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku,”

Dengan dihapusnya ketentuan-ketentuan perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana posisi pernikahan beda agama di Indonesia, karena perkawinan campuran yang dimaksud dalam Undang-Undang No.I Tahun 1974 adalah perkawinan antara dua yang berbeda warga negara, bukan perkawinan antarumat yang berbeda agama. Para ahi hukum berbeda pendapat dalam hal ini dan perbedaan tersebut terpola pada tiga pendapat. Pertama: pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antara orang yang berbeda agama adalah sah adanya dan dapat dilangsungkan sebagai manifestasi dari hak asasi manusia dan kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya. Kelompok ini menyandarkan argumennya pada pasal 16 ayat (1) Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB yang berbunyi:

“Pria dan wanita dewasa tanpa dibatasi ras, kebangsaan atau agama memilki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”

Disamping itu, kelompok ini juga berpegang pada pasal 7 ayat 2 GHR S. 1898 No. 158, yang berbunyi:

“Perbedaan agama, bangsa, atau asal itu sama sekali bukanlah penghalang untuk perkawinan.” 6

Pendapat inilah yang terumus dalam pasal 11 ayat (2) Rancangan Undang-undang Perkawinan dahulu dan kemudian ditolak oleh DPR serta dikeluarkan dari Undang-undang Perkawinan, karena dianggap tidak sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua: pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan campuran antara orang yang berbeda agama tidak diatur dalam Undang-Undang No. I Tahun 1974, oleh karena itu, perkawinan semacam ini dimungkinkan untuk dilaksanakan apalagi jika melihat realitas yang ada di masyarakat bahwa perkawinan campur beda agama sangat sulit untuk dihindari. Kelompok ini berpegang pada Surat Ketua Mahkamah Agung No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 perihal Pelaksanaan Perkawinan Campuran, yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa karena UU No. I Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka menurut pasal 66 UU tersebut masih dimungkinkan bagi mereka yang ingin melaksanakan perkawinan beda agama dengan menggunakan GHR S. 1989 No. 158 sebagai dasarnya, dan agar mendapatkan jaminan kepastian hukum, Mahkamah Agung mengharapkan adanya petunjuk pelaksanaan dari dua departemen di atas tentang pelaksanaan perkawinan beda agama.
Ketiga: pendapat bahwa perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama tidaklah sah karena tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) mengenai sahnya perkawinan, yang berbunyi: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selain itu, kelompok ini juga mendasarkan argumennya pada pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan dan pasal 57 mengenai perkawinan campuran. Dalam pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan dirumuskan bahwa:

“Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.”

Artinya, bentuk perkawinan yang dilarang baik oleh agama maupun peraturan lain yang berlaku di Indonesia tidak bisa dilangsungkan atau disahkan. Oleh karena itu, menurut kelompok ini pembenaran atau pengesahan perkawinan campuran beda agama selain bertentangan dengan hukum agama, juga bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia.
Dari paparan di atas maka bisa diartikan bahwa sebetulnya Undang-Undang Perkawinan, terutama yang berkaitan dengan perkawinan campuran, telah menimbulkan interpretasi yang beragam di kalangan ahli hukum. Namun meskipun demikian, pendapat yang sampai saat ini berlaku dan dijadikan dasar dalam menangani masalah perkawinan campuran adalah pendapat terakhir yang melarang disahkannya perkawinan semacam ini.

Usulan
Kendatipun tidak diakomodasi oleh negara, realitas menunjukkan, betapa banyak warga Indonesia yang beda agama masih saja melakukan praktik terlarang tersebut. Barangkali memang benar, bahwa melarang sesuatu yang menjadi hak warga negara adalah perbuatan sia-sia, sebab selalu ada jalan untuk meraih hak tersebut. Banyak cara yang ditempuh oleh para pengantin beda agama tersebut. Ada berangkat ke luar negeri lalu melangsungkan pernikahan di sana, kemudian kembali ke Indonesia untuk mencatatkan perkawinan mereka. Ada yang pura-pura konversi agama agar terlihat perkawinan itu dilakukan secara sah menurut hukum, sehingga mereka bisa dicatatkan pada institusi berwenang, KUA atau KCS, setelah itu mereka kembali ke agama mereka masing-masing. Konversi agama dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan administratif belaka. Ada juga yang menikah sesuai dengan ajaran agama masing-masing tanpa perlu mencatatkan pernikahan mereka. Jelasnya, pernikahan beda agama, meskipun dilarang, betul-betul ada dalam realitas kehidupan sosiologis kita.
Untuk itu, ada baiknya memang peraturan tentang pelarangan beda agama itu dicabut. Disamping pelarangan nikah beda agama itu lemah secara argumentatif, pelarangan tersebut juga secara langsung melakukan tindak diskriminatif dan penindasan kebebasan warga negara untuk mengekspresikan hak-hak individual mereka. Lebih lanjut, masalah pernikahan beda agama masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum agama, tidak selayaknya negara turut campur dalam perdebatan itu dan memihak salah satu kelompok, dengan membuat peraturan perundang-undangan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Masalah agama dan pernikahan adalah masalah yang sangat sakral. Wilayah ini jangan dikotori oleh lumuran lumpur duniawi politik negara. Pernikahan antar agama jika dipercaya mampu membawa manusia kepada kebahagiaan, keharmonisan hidup, penuh diliputi mawaddah wa rahmah, serta jauh dari bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan, kenapa harus dilarang?
Walalhu a’lam bishshawwab.
1 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual, Mizan, Bandung: 1992, Cet. III, hal. 73.
2 Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Dar al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, Hal. 193, diambil dari makalah Dr. Zainul Kamal dan Dr. Musdah Mulia, Penafsiran Baru Islam atas Pernikahan Antar Agama, Pusat Studi Islam Paramadina, KAA-200, edisi: Oktober 2003.
3 Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Jakarta: 1996, hal. 196.
4 Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer; editor Mun’im Sirry, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina dan TAF, Jakarta: 2004, hal. 159.
5 Lihat Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Op. Cit.

6K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), Cet. IV, h. 210

No comments: