Wednesday, November 14, 2007

Hak-hak Anak dalam Tinjauan Hukum Islam

Salah satu hal yang mendapat perhatian serius dalam ajaran Islam adalah bagaimana menciptakan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dan masa sekarang. Proyeksi masa depan itu tercermin dari konsep-konsep tentang bagaimana masyarakat muslim memperhatikan dan menyiapkan generasi muda untuk menyongsong masa depan tersebut. Itulah sebabnya, dalam doktrin Islam, banyak sekali ditemukan aturan-aturan yang berbicara seputar regenerasi, mulai dari memilih jodoh, etika hubungan suami-istri, menjaga kandungan, sampai panduan pengasuhan dan pendidikan anak. Pada beberapa kesempatan, Rasulullah SAW seringkali dengan sangat tegas dan lugas mengutarakan bagaimana mendidik dan memperlakukan anak.
Dalam hal hubungan dengan anak, Rasulullah mengajarkan agar orang tua melakukan pendekatan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Tuntunan Rasulullah ini kerapkali terabaikan, lalu muncullah apa yang disebut kekerasan terhadap anak. Begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak muncul dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat. Kekerasan dan perlakuan yang tidak bijak kepada anak itu tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat umum, hal serupa juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren.
Kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren seringkali dilakukan dengan kesadaran penuh yang berangkat dari anggapan bahwa kekerasan terhadap anak itu adalah salah satu bentuk pendidikan. Sesungguhnya anggapan seperti ini keliru, sebab perlakuan yang keras terhadap anak akan menyebabkan anak kurang percaya diri dan menimbulkan trauma psikologis yang mendalam. Itulah sebabnya, anak-anak di lingkungan pesantren, terlihat begitu inferior di hadapan orang tuanya atau orang dewasa pada umumnya. Mereka merasa bahwa diri mereka tidak ada artinya di hadapan orang lain itu. Sehingga, bisa dibayangkan bahwa anak-anak di lingkungan pesantren akan sangat sulit ikut ambil bagian dalam proses kreativitas. Apa yang dikatakan oleh orang dewasa atau orang tua, akhirnya, diakui sebagai kebenaran mutlak. Pada kondisi seperti ini, akan sangat sulit ditemukan proses dialog antara anak dan orang tua maupun dengan orang dewasa lainnya di lingkungan pesantren.
Kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren kerapkali juga dilakukan secara tidak langsung. Anak-anak diandaikan tidak memiliki ide, sehingga aspirasi mereka diabaikan. Ini juga adalah bentuk kekerasan. Sebab dengan demikian, kebutuhan anak ditentukan secara semena-mena oleh mereka yang dianggap lebih dewasa. Kekerasan model ini juga sangat banyak ditemui dalam interaksi antar anak di lingkungan pesantren. Anak yang lebih tua akan cenderung mendominasi dan seolah yang paling mengetahui segala hal. Ajaran ini, sepintas, memang sangat baik bahkan mulia. Tetapi kerapkali ajaran seperti ini diperlakukan secara umum, sehingga segala bentuk koreksi atau bantahan terhadap mereka yang lebih dewasa selalu dianggap sebagai bentuk perlawanan dan akhirnya menjadi semacam bentuk ketidakpatuhan.
Bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru tahun 1998 telah membuka belenggu kebebasan yang sekian lama terpasung. Di era kebebasan ini, suara-suara yang dulu terpendam dan dibenamkan kini mulai muncul ke permukaan menunjukkan eksistensinya. Banyak hal yang dulu dianggap tabu kini dirayakan dengan begitu semarak. Salah satu hal yang marak dimunculkan di era kebebasan ini adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini ditandai, misalnya, dengan dimuatnya prinsip-prinsip HAM dalam bab tersendiri pada amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada sidang bulan Agustus 2000. Di samping itu, pemerintah juga menerbitkan Keputusan Presiden nomor 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang antara lain memuat rencana dan jadual ratifikasi pelbagai instrumen hak asasi manusia yang sangat penting, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Anti Rasial, Konvensi tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Eksploitasi Pelacuran, Konvensi tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya dan sebagainya.
Kendati masalah HAM telah menjadi salah satu pusat perhatian di era reformasi, tetapi perhatian itu terasa masih sangat tidak maksimal terutama karena di dalamnya tidak eksplisit mengenai perlindungan terhadap anak. Tidak ada pembahasan atau ketertarikan yang memadai untuk membahas masalah kekerasan terhadap anak. Padahal tidak sedikit kasus di mana anak menjadi objek kekerasan. Kendatipun telah ada undang-undang, yang juga tidak mendapat perhatian secara maksimal, praktik kekerasan terhadap dan pengabaian hak anak masih sangat marak dalam kehidupan masyarakat. Bukan hanya kekerasan, anak bersama perempuan bahkan telah menjadi objek perdagangan atau trafiking. Menurut data yang dilansir Kompas (27 Agustus 2002), untuk tahun 2000 saja telah terjadi trafiking perempuan dan anak sebanyak 7000 kasus. Menurut laporan Asian Development Bank (ADB) paling tidak sebanyak satu atau dua juta manusia telah diperjualbelikan setiap tahun di seluruh dunia. Jual-beli manusia ini terutama sangat marak di negara-negara miskin.
Tampak nyata bahwa tidak ada pembicaraan yang cukup serius yang membahas mengenai Hak Asasi Anak (HAA). Hal ini terjadi mungkin karena ada anggapan umum bahwa ketika bicara mengenai hak asasi manusia, maka sebetulnya anak sudah masuk dalam kategori itu. Sebab, manusia terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Padahal, kenyataannya, konsep HAM memang kerapkali tidak mengakomodir kepentingan untuk melakukan perlindungan terhadap anak. Anak kerapkali dianggap sebagai milik bapak dan ibunya semata. Oleh karena itu, bapak dan ibu sang anak berhak melakukan apapun kepada anak, termasuk pemaksaan dan tindak kekerasan.
Itulah sebabnya, kekerasan terhadap anak sebetulnya merupakan kasus yang begitu marak dalam kehidupan di negeri ini. Bukan hanya hak anak untuk terhindar dari perilaku kekerasan, tetapi hak anak untuk menikmati masa kanak-kanak dengan baik juga menjadi kasus yang sangat marak dan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak anak yang terjun dalam pekerjaan, seperti menjadi buruh, pengemis, bahkan pekerja seks di bawah umur. Hal ini berarti, hak-hak anak untuk menikmati masa kanak-kanak dengan indah telah direnggut oleh sebuah sistem kehidupan yang luput dari perhatian. Alih-alih memperoleh hak untuk menikmati pendidikan jenjang demi jenjang, begitu banyak anak Indonesia malah terjebak dalam ketidakberdayaan yang dengan demikian mengarahkan mereka menuju masa depan yang suram.
Persoalan hak-hak anak ini tentu bukan hanya dosa satu pihak, melainkan di sana terdapat pengabaian dan ketidakpedulian dari negara, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan agamawan, pelaku bisnis, dan lingkungan lainnya. Sistem kehidupan budaya juga memiliki tanggung jawab terhadap problem yang diderita anak. Ketidakpedulian terhadap anak tidak disadari sebagai dosa masa depan yang sangat besar. Anak dipaksa untuk menjadi anak saleh dan salehah, dalam pengertian yang sangat sempit, yakni mereka harus patuh dan taat terhadap semua perintah orang tua. Anak yang patuh adalah anak yang bisa menyenangkan orang tua, misalnya mereka harus mendatangkan manfaat uang, dan itu bisa diperoleh dengan bekerja. Anak-anak yang dianggap tidak patuh kemudian dibenarkan untuk diperlakukan dengan keras. Jika dirumuskan, setidaknya ada beberapa hal mendasar yang harus dipenuhi sebagai hak asasi atau hak dasar anak: hak kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak partisipasi, dan hak perlindungan.

Hak atas Kelangsungan Hidup
Hak atas kelangsungan hidup berarti bahwa anak memiliki hak atas tingkat kehidupan yang layak dan pelayanan kesehatan. Di sini, pihak-pihak yang terkait dengan anak, seperti keluarga, lingkungan dan negara harus betul-betul memperhatikan kelangsungan hidup anak. Dalam hal ini, anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan perwatan kesehatan yang baik bila ia jatuh sakit. Pengabaian hak anak dalam kelangsungan hidup tampak nyata dalam berbagai kasus kekurangan gizi dan busung lapar yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Kemiskinan tentu adalah faktor utama penyebab pengabaian atas kelangsungan hidup anak Indonesia. Untuk masalah kemiskinan, perlu langkah-langkah kongkrit dan berkesinambungan untuk mengatasi masalah ini. Kemiskinan bukan hanya menjadi masalah utama bagi semua masyarakat, melainkan juga menjadi titik pijak yang sangat rapuh bagi konstruksi masa depan. Tetapi kemiskinan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya memberikan bantuan finansial kepada si miskin. Kemiskinan tidak hanya terkait dengan kurang atau tiadanya harta benda, tetapi terutama karena kurangnya kapabilitas dalam bekerja dan mencari nafkah. Oleh karena itu, pemberantasan kemiskinan harus dilakukan dengan memberikan bekal kepada si miskin untuk meningkatkan kapabilitas atau kemampuan individu untuk mengatasi problem kemiskinannya.
Tetapi, kapabilitas belum tentu memadai dalam kondisi persaiangan yang tidak sehat. Kita saksikan betapa banyak orang yang sebetulnya memiliki kemampuan tetapi tetap saja miskin, karena mereka kalah bersaing dengan mereka yang memiliki akses yang lebih baik, akses yang dimaksud adalah koneksi atau kesempatan yang lebih baik. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan juga mensyaratkan suatu kondisi persaingan yang fair dan memberikan kesempatan kepada yang kurang mampu untuk bisa mengaktualisasikan dirinya.
Tentu saja si miskin tetap harus memiliki modal awal untuk mencapai peningkatan kapabilitas dan kesempatan kerja. Sebab mereka tidak mungkin belajar dalam keadaan perut kosong. Bagaimanapun, pemenuhan kebutuhan biologis tetap merupakan prioritas utama. Dalam hal ini, pemerintah, pada tiap jenjangnya, harus bertanggungjawab penuh pada penanggulangan kemiskinan. Di samping, masyarakat juga harus aktif melakukan desakan kepada pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan yang menimpa mereka.
Jika kemiskinan terus berlangsung, bisa dipastikan bahwa anak akan mengalami dampak yang sangat buruk. Anak akan kehilangan hak untuk mendapatkan perhatian kesehatan. Anak yang kurang gizi akan sangat rentan terhadap berbagai penyakit yang mematikan. Jika di masa lalu, orang-orang miskin membunuh anaknya karena takut menjadi beban, maka di masa kini, kekurangan gizi adalah pembunuhan model baru. Allah berfirman:

“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberikan rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh adalah suatu dosa yang besar” (Al-Isra: 31).

Sebetulnya Indonesia telah memiliki antara lain Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Kejadian busung lapar belum lama ini menyentak kita tentang buruknya kondisi anak. Belum lagi persoalan anak yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, anak di wilayah konflik, korban perdagangan manusia, dan banyak lagi.
Kemiskinan, kelangsungan hidup anak dan pengembangan kapabilitas adalah mata rantai yang tak terputus dan saling mengandaikan. Kemiskinan membuat anak tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapabilitas. Sejak dini, anak-anak di daerah-daerah miskin telah dipekerjakan, bahkan tak jarang pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mereka kemudian kehilangan masa-masa kecilnya yang seharusnya ceria dan indah. Alih-alih bermain dan mengasah kemampuan, setiap hari anak-anak harus bergelut dengan pekerjaan dan berlomba dengan waktu untuk mengejar laba. Pemerintah benar-benar harus tanggap terhadap masalah yang satu ini.
Di samping kemiskinan, kelalaian orang tua untuk memberikan gizi berupa air susu ibu kerapkali terjadi. Banyak orangtua yang mengabaikan pentingnya air susu ibu, padahal ini adalah cara paling tradisional yang selalu dianjurkan untuk peningkatan gizi anak sejak dini. Allah berfirman:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S. An-Nisa/4: 29)

Dari ayat di atas, bisa ditarik beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh orangtua: Pertama, adalah kewajiban ibu untuk menyusui anaknya sendiri dan tidak mengabaikan hak anak yang paling dini itu. Kedua, lama yang ideal untuk menyusui anak adalah dua tahun. Ketiga, Penyusuan tersebut boleh dihentikan sebelum dua tahun, tetapi terlebih dahulu kedua orang tua harus bermusyawarah untuk melihat baik buruknya penghentian penyusuan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (Q.S. Al-An’am/6: 151).

Keempat, ayah bayi harus membantu agar air susu ibu terus tersedia cukup dengan cara menyediakan makanan yang cukup bagi ibu dan suasana yang tenteram dan damai. Hal ini menjadi satu pertanda bahwa sebenarnya Islam menganggap menyusui anak sebagai satu kewajiban utama bagi ibu sehingga ia tidak bisa dibebani pekerjaan yang bisa mengganggu proses penyusuan itu. Kelima, jika sang ayah sedang bepergian atau meninggal, maka salah seoarang keluarga harus mengambil-alih kewajiban memelihara bayi dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan-kebutuhan ibu agar tugas menyusui bisa terus berlangsung. Dan keenam, seoarang ibu yang dapat menyusui anaknya dilarang mengalihkan kewajiban itu kepada orang lain. Islam mewajibkan ayah bayi tersebut menanggung biaya keuangan atau biaya hidup isteri yang telah dicerainya tetapi masih menyusui bayinya. Ini penting, agar bayi tetap menerima hak atas penyusuan, yang dengan demikian hak bagi kelangsungan hidup anak.
Betapa pentingnya memberikan hak perbaikan gizi bagi anak, Rasululllah menegaskan: “Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada yang lemah.” Itulah sebabnya, Islam menghalalkan berbagai makanan yang mengandung gizi yang baik bagi pertumbuhan. Islam tidak melarang mengkonsumsi daging, seperti daging sapi, karena daging-daging itu mengandung gizi yang baik bagi pertumbuhan. Singkatnya, Islam sangat menganjurkan agar sejak dini, orang tua memperhatikan hak hidup anak.

Hak untuk Berkembang
Anak-anak perlu jaminan bahwa mereka bisa hidup dan berkembang secara layak untuk menyongsong masa depan. Hak untuk berkembang meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni dan budaya, dan semacamnya. Hak untuk berkembang ini juga berlaku kepada anak-anak cacat dimana mereka berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang khusus. Kerapkali hak untuk berkembang ini diabaikan dengan alasan bahwa anak-anak memiliki catatan nasibnya sendiri. Padahal keyakinan seperti itu sungguh salah. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri”

Ayat ini menunjukkan bahwa sebetulnya nasib ditentukan oleh bagaimana kita berusaha. Jika sejak dini manusia sudah tidak dibekali dengan kemampuan yang baik, maka nasibnya akan menjadi suram. Tapi jika kemampuan itu telah diasah sejak dini, maka tentu masa depan yang cerah akan menanti. Sebetulnya tidak ada orang yang menghendaki masa depan yang suram, tapi kerapkali instrumen atau jalan untuk mencapai hal itu tidak diperhatikan sejak dini. Akhirnya, setelah semuanya terjadi, yang terucap adalah kepasrahan pada nasib. Allah kemudian dibawa-bawa dalam hal ini, “mungkin Allah memang telah menggariskan jalan hidupnya seperti ini.” Ini adalah sikap pasrah yang tidak beralasan. Seharusnya doa dan ikhtiar harus selalu berjalan seiringan. Doa sebagai wahana agar kita yakin bahwa apa yang kita lakukan tidak melanggar ketentuan Ilahi. Sementara ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh adalah alat untuk meyakinkan kita bahwa apa yang kita lakukan itu memang telah benar untuk mencapai satu kesuksesan tertentu. Salah satu usaha untuk mencapai masa depan yang cerah itu adalah mempersiapkan kemampuan anak sejak dini.
Kerapkali kita mendengar bahwa negara Indonesia sedang berada pada masa-masa suram, dimana bangsa ini mengalami kemunduran dan ketidakmampuan di berbagai bidang jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia dibuat cemburu habis-habisan dengan keberhasilan negara lain mencapai kemajuan, seperti yang dialami oleh Cina dan India, padahal dua negara itu memiliki kemiripan dengan Indonesia, dalam hal luas wilayah, jumlah penduduk dan kondisi suram di masa lalu. Kenapa dua negara itu bisa begitu maju, sementara Indonesia masih terpuruk? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah bahwa negara itu, sejak 20 dan 30 tahun yang lalu telah melakukan persiapan besar-besaran terutama dalam hal memberikan kesempatan kepada sebanyak mungkin anak di negerinya untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Setiap tahun, ratusan anak dikirim ke negara-negara maju untuk bersekolah. Pemerintah negara itu begitu peduli dengan pendidikan. Tiga puluh tahun kemudian, anak-anak negeri itu pulang dan menjadi tulang punggung kemajuan negara.
Hal yang sangat berbeda terjadi Indonesia. Anak-anak dibiarkan begitu saja putus sekolah. Kalaupun terus bersekolah, maka mutu pendidikan tidak begitu diperhatikan. Mereka yang tetap bersekolah sampai ke perguruan tinggi dibebani dengan harapan bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Akhirnya, anak sekolah akan merasa puas jika telah bisa menjadi PNS. Padahal untuk menjadi PNS, yang diperhatikan bukan semata-mata kualitas individu, melainkan seberapa banyak uang yang bisa dijadikan sogokan atau seberapa kuat koneksi. Akhirnya, lagi-lagi, mutu pendidikan menjadi nomor sekian dari sistem pendidikan kita. Jika hal ini terus dipertahankan, maka bisa dibayangnya masa depan bangsa Indonesia.
Putus sekolah adalah fenomena yang hampir dianggap lumrah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini muncul karena ada anggapan yang berkembang di masyarakat, bahwa anak adalah aset untuk membantu ekonomi keluarga. Anak yang baik adalah anak yang bisa langsung memberikan bantuan bagi keluarga untuk peningkatan ekonomi. Pendidikan dianggap tidak penting karena tidak langsung memberikan dampak langsung peningkatan ekonomi, bahkan menjadi beban ekonomi.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan. Data IPEC/ILO memperkirakan terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persennya tergolong anak. Sekitar 93 persennya adalah anak perempuan (Kompas, 2/7/05). PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai dari situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.
Doktrin Islam yang mewajibkan pendidikan anak bukan hal yang remeh temeh dan main-main, sebab mengabaikan pendidikan anak merupakan dosa sosial yang akan berdampak sangat buruk bagi masa depan sebuah komunitas, termasuk agama dan negara itu sendiri. Pendidikan anak menggunakan beragam metode yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan psikologinya. Pendidikan anak yang bisa diberikan antara lain adalah melalui pembiasaan, pemberian contoh teladan, nasihat, dan dialog yang mencerdaskan, pemberian hadiah yang mendidik, sesekali ada hukuman.
Islam mengajarkan untuk memberikan pendidikan kepada anak di lingkungan keluarga. Di lingkungan keluarga, pendidikan anak diarahkan dalam rangka penanaman moral keagamaan dan pembentukan sikap yang diperlukan setiap anak bagi pengembangan diri. Sedini mungkin anak harus diajarkan untuk hidup disiplin, sopan, lembut, santun, jujur, arif dan kritis. Sedapat mungkin orang tua tidak memberi contoh yang buruk kepada anak, karena anak akan sangat cepat meniru kelakukan orang tua. Anak-anak harus dihindarkan dari sifat iri, pemarah, pembohong dan tidak peka terhadap orang lain. Dalam hal ini, Nabi bersabda: “Tidak ada pemberian seoarang ayah yang lebih baik, selain dari budi pekerti yang luhur” (HR Al-Tirmidzi).

Hak Partisipasi
Bagian ketiga ini memang adalah hal yang banyak dilanggar. Anak-anak dianggap tidak memiliki kemampuan atau hak untuk berpartisipasi hanya karena mereka adalah anak-anak. Hak partisipasi meliputi hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi, seharusnya orang-orang dewasa, khususnya orangtua, tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis terhadap diri anak.
Sebagai generasi masa depan, anak harus diperkenalkan dengan prilaku yang tidak otoriter. Orang tua tidak boleh memperlihatkan sikap otoriter kepada anak, karena dengan demikian maka orang tua secara tidak langsung mengajarkan hal yang demikian itu kepada anaknya. Anak harus diberi kesempatan untuk berkreasi dan mengemukakan pendapatnya. Dari sana anak-anak akan menjadi generasi kritis yang tidak gampang menyerah terhadap persaingan hidup yang demikian hebat.
Hak partisipasi sekaligus juga mengajarkan anak-anak untuk hidup secara demokratis. Dalam kehidupan demokratis, semua golongan bisa tampil dan mengemukakan pendapatnya serta berpartisipasi dalam semua keputusan publik. Dalam demokrasi, tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Memberikan hak partisipasi bagi anak berarti mengajarkan mereka untuk berlaku adil kepada semua orang tanpa memandang dari golongan dan status sosial mana mereka berasal. Komitmen seperti ini penting sebab kerapkali kerusakan terjadi di masayarakat orang dewasa karena satu atau sekelompok orang merasa paling benar dan karenanya berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada yang lain. Pemaksaan kehendak itu dilegitimasi oleh anggapan bahwa yang lain itu belum cukup dewasa dalam memahami kebenaran. Sikap seperti ini harus dihindari dalam masyarakat modern di mana masyarakat begitu beragam dan tidak satu ide. Jika sejak awal anak selalu merasa diri paling benar, maka selanjutnya sikap seperti itu akan mewarnai kehidupan mereka.
Memberikan hak partisipasi kepada anak berarti memberikan pengakuan terhadap eksistensinya. Dengan demikian, anak akan merasa bahwa kehadiran diri mereka dihargai. Dari sana kemudian muncul kepercayaan diri untuk menyongsong masa depan. Anak-anak yang memiliki kepercayaan diri akan mudah bergaul dan mendapatkan informasi yang lebih baik ketimbang anak-anak yang tidak percaya diri. Kerapkali gagasan-gagasan cemerlang muncul dari anak-anak, itu patut mendapat penghargaan. Posisi anak-anak yang masih bersih dari segala kepentingan pragmatis akan membuat gagasannya begitu murni dan tulus. Oleh karena itu, mengabaikan dan mengungkung aspirasi anak sama artinya dengan menutup diri terhadap gagasan cerdas yang mungkin muncul.
Dalam hal ini, orang tua senantiasa harus berlaku adil terhadap semua anak. Perlakukan tidak adil bukan hanya akan merendahkan posisi anak yang diperlakukan secara tidak adil, melainkan juga bahwa hal itu akan menjadi contoh yang sangat buruk. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah bersabda: “Samakanlah anak-anakmu dalam hal pemberian. Jika kamu hendak melebihkan salah seorang di antara mereka, maka lebihkanlah pemberian itu kepada anak-anak perempuan.” (HR Al-Thabrani).
Hadis di atas menunjukkan bahwa betapa prinsip keadilan itu sangat penting dalam ajaran Islam. Islam tidak hanya mengajarkan keadilan di ruang publik seperti negara, keadilan justru harus telah ditanamkan dalam kehidupan keluarga. Rasulullah juga sadar betul bahwa kerapkali anak perempuan menjadi korban ketidak-adilan orang tua. Anak-anak perempuan dianggap tidak terlalu berguna, sehingga mereka tidak diberikan fasilitas yang cukup sebagaimana yang diberikan kepada anak laki-laki. Sejak awal, anak laki-laki telah diperkenalkan kepada pergaulan yang luas di wilayah masyarakat, sementara perempuan diarahkan untuk aktif dalam wilayah yang lebih sempit yaitu mengurus keluarga. Anak laki-laki diperbolehkan main di luar rumah seperti di lapangan atau di tempat-tempat umum lainnya, sementara anak perempuan dibatasi atau diarahkan untuk bermain di dalam rumah seperti main masak-masakan di dapur, arisan-arisanan atau gosip-gosipan. Melangkah lebih jauh, anak laki-laki akan diberikan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, sementara perempuan dibatasi, misalnya dengan segera mengawinkannya dengan lelaki pilihan orang tua.
Diskriminasi ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, bahkan sangat marak dalam kehidupan kita. Anak perempuan tidak dibiarkan berkembang karena diyakini bahwa kodrat perempuan memang di rumah atau di dapur untuk mengurus rumah tangga dan suami. Sementara anak laki-laki diproyeksikan untuk menjadi kepala rumah tangga dan tulang punggung keluarga. Diskriminasi ini tidak hanya secara langsung merugikan anak perempuan, tetapi juga mengajarkan kepada anak laki-laki untuk berlaku diskriminatif di kemudian hari. Mereka akan menjadi kepala-kepala rumah tangga yang menyepelekan hak anak perempuan untuk berkembang dan juga menyepelekan ide dan bentuk partisiasi lainnya dari perempuan.
Ironisnya, bentuk diskriminasi itu kerapkali dianggap sebagai kodrat dan sesuai dengan ajaran Islam. Jika ada orang yang mencoba mengubah atau mengoreksi pendapat seperti itu, dia dianggap menyalahi kodrat, yang dengan demikian mengingkari ajaran Islam. Padahal sesungguhnya Islam justru mengajarkan bahwa anak perempuan harus diberikan perhatian yang lebih karena mereka kerapkali menjadi korban diskriminasi. Perlakuan yang adil dari orang tua kepada semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang cacat maupun yang tidak cacat, akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua anak untuk selalu memegang prinsip keadilan dalam mengarungi bahtera kehidupan yang maha luas.



Hak Perlindungan
Bagian keempat yang harus dipenuhi adalah hak perlindungan. Hak perlindungan meliputi perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya. Contoh eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Di jalan-jalan, banyak sekali ditemukan bagaimana anak-anak membanting tulang untuk mencari pekerjaan. Mereka melupakan keindahan masa kecil yang seharusnya mereka terima. Kondisi seperti ini sangat berbahaya kepada anak terutama karena mereka tidak bisa aktif mempersiapkan masa depan yang cerah. Mereka akan tetap berada pada lingkaran kemiskinan dan ketidakmampuan bersaing dalam kehidupan modern yang menuntut kecakapan individu.
Mempekerjakan anak-anak di bawah umur juga secara langsung memperhadapkan mereka kepada bahaya keamanan fisik. Sudah tentu gizi mereka tidak terurus. Pekerja anak-anak akan menghadapi resiko kerja yang penuh dengan bahaya. Bagi mereka yang bekeja di jalan-jalan, mereka menghadapi resiko tabrakan. Mereka yang bekerja di pabrik-pabrik, mereka menghadapi bahaya mesin dan semacamnya. Mereka yang menjadi buruh bangunan menghapi banyak bahaya kejatuhan atau terhimpit alat-alat berat. Bahaya yang menanti mereka terutama karena memang mereka belum waktunya untuk bekerja. Mereka tentu tidak akan terlalu mengerti tentang bahaya yang ada di sekelilingnya.
Sebagai anak-anak, mereka harusnya selalu mendapat perlindungan dari orang tuanya. Ajaran Islam sangat menekankan perlindungan terhadap anak ini. Banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang mewajibkan perlindungan terhadap anak. Kasih sayang orang tua dan orang dewasa pada umumnya harus senantiasa tercurah kepada anak. Nabi bersabda: “Orang yang tidak sayang kepada yang lebih muda dan hormat kepada yang lebih tua bukanlah golongan kita.” Pada kesempatan yang lain, Nabi juga bersabda: “Sayangilah orang lain jika kamu ingin disayangi.” Dari hadis-hadis ini terlihat bahwa betapa Nabi memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bentuk kasih sayang kepada anak. Jika kasih sayang itu tidak diberikan, maka Nabi memvonis orang itu sebagai orang lain, yang berada di luar komunitas Islam. Mereka yang tidak memberikan kasih sayang kepada anak-anak bukanlah orang Islam.
Jika secara umum saja orang harus sayang kepada anak-anak, apalagi orang tua yang telah melahirkan anak itu sendiri. Sudah tentu orang tua si anak harus lebih menyayangi anaknya. Memang konsep kasih sayang ini telah diamalkan dan diyakini oleh banyak keluarga. Tetapi kerapkali kasih sayang itu muncul dalam bentuk yang kurang tepat. Kerapkali atas nama kasih sayang, hak-hak anak dilanggar. Sesungguhnya yang demikian itu adalah kasih sayang semu.
Islam sama sekali tidak mentolerir perlakukan yang kasar kepada anak. Sebab perlakukan yang kasar akan menggoncang kepribadian anak. Bukan berarti kemudian bahwa anak harus dimanja kemudian sang anak menjadi anak yang manja dan tidak mandiri. Di sini, orang tua harus pandai menempatkan posisi. Seorang anak tidak boleh diperlakukan secara kasar, tetapi juga tidak boleh terlalu dimanja. Orang tua harus bisa selalu mengevaluasi diri dalam hubungannya dengan anak.
Banyak sekali orang tua yang tidak mau tahu tentang pendekatan apa yang harus diberikan kepada anak. Padahal, setiap anak memiliki karakter yang berbeda, yang secara otomatis perlu didekati secara berbeda. Banyak sekali orang tua yang merasa bahwa apa yang dilakukan terhadap anak sudah benar dan tidak perlu dikoreksi, atau setidaknya menganggap bahwa evalusi pendekatan terhadap anak tidak relevan atau tidak penting. Pemahaman seperti ini harus dihilangkan, karena akan merugikan kepentingan anak itu sendiri.
Berkaca dari perspektif ini, maka sebetulnya pemberian perhatian terhadap anak tidak hanya bisa diberikan oleh mereka yang mapan secara ekonomi. Ada anggapan umum bahwa kaum miskin tidak mungkin memberikan perhatian kepada anak. Anak bagi yang miskin adalah aset berharga untuk membantu perekonomian. Sesungguhnya perspektif ini keliru, orang miskin sekalipun tetap bisa memberikan perhatian kepada anak. Mereka juga harus mengevaluasi pendekatan yang ia gunakan kepada anaknya. Pada dasarnya, anak-anak di manapun memiliki hak yang sama untuk dilindungi.
Ironisnya, problem perlindungan terhadap anak ini dialami oleh semua keluarga tanpa memandang latar belakang ekonomi. Pelanggaran terhadap hak perlindungan anak dilakukan oleh keluarga dari kalangan manapun. Tentu saja kaum, secara teoretis, paling rentan, tapi problem ini, pada kenyataannya, telah menyerang semua lapisan masyarakat. Jika kaum kaya berhasil memberikan kasih sayang yang lebih kepada anaknya, maka yang diberikan itu adalah kasih sayang yang over dosis, yang kemudian membuat anak tidak mandiri. Kenyataannya, orang-orang kaya justru banyak yang mengabaikan anak. Sangat banyak anak orang kaya yang lebih dekat dengan pembantunya daripada dengan kedua orang tuanya. Orang tua dari kalangan kaya menganggap bahwa mereka telah memenuhi hak anak ketika anak itu diberi materi yang berlimpah. Padahal itu justru tidak mencerdaskan dan akan membuat manja. Anak-anak kaya akan merasa bahwa uang atau materi adalah sesuatu yang sangat gampang dicari, padahan maksudnya adalah minta kepada orang tua. Anak-anak seperti ini akan menjadi generasi yang tumpul dan mandul. Mereka tidak terasa dalam berkreativitas. Masa depan yang lebih baik membutuhkan generasi yang kuat, kreatif dan mandiri.
_____________________________
Referensi
Al-Qur’an al-Karim
Hasyim, Hussaini Abdul Majid (dkk), Child Care in Islam, terj. Ahmad Bakir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam: Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Jakarta: Penerbit Pustaka Shadra, 2004.
Bahrits, Adnan Hasan Shalih, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak bersama Nabi: Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf, Solo: Pustaka Arafah, 2006.
Dimas, Muhammad Rasyid, 20 Kesalahan dalam Mendidik Anak, Jakarta: Robbani Press, 2005.
Rahman, Jamaal Abdur, Tahapan Mendidik Anak: Teladan Rasulullah, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000
Schuler, Margaret A. (peny.), Women, Law and Development: International and Human Rights Watch, terj. Ismu M. Gunawan, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah demi Langkah, Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 2001.
Jurnal Perempuan, Perempuan dan Anak Indonesia, Edisi 29, Jakarta, Oktober 2004.
Fuaduddin, TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999.
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.

No comments: