Wednesday, November 14, 2007

JILBAB DALAM SOROTAN

Persoalan jilbab sampai sekarang masih diperdebatkan. Berbagai macam argumen dikeluarkan untuk mendukung berbagai kontroversi pandangan tentang jilbab. Ada yang berpendapat bahwa jilbab itu wajib bagi kaum muslimat yang sudah baligh,apabila tidak, dia telah melanggar hukum Allah. Ada pula yang berpendapat bahwa jilbab hanya produk dari budaya bangsa Arab sedangkan bangsa lain bukan budayanya, seperti di Indonesia. Pertanyaannya kenapa kepala, rambut, seorang perempuan aurat sehingga harus ditutupi sedangkan laki-laki tidak. Kenapa perempuan itu serba aurat? Kalau pertanyan ini ada kitannya dengan seksualitas perempuan, bahwa perempuan yang tidak berjilbab itu mengundang syahwat laki-laki, sehingga harus ditutup, kenapa pula perempuannya yang harus ditutup, kenapa bukan mata laki-lakinya yang harus ditutup? Dari argumen pendek ini saja telah memperlihatkan, betapa jilbab adalah masalah yang memiliki berbagai kontroversi dan mengundang hasrat penyeleseiannya secara jernih. Penulis akan menampilkan argumentasi baik pandangan ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan kontemporer yang terkesan longgar dalam menafsirkan ayat-ayat jilbab..

Listing Masalah

Lalu kenapa persoalan jilbab begitu menarik perhatian untuk diperdebatkan? Ada beberapa alasan kenapa perdebatan ini menarik: pertama, jilbab hanya dijadikan simbol atau instrumen politik sesaat para pengejar kekusaan. Pada banyak wilayah yang menerapkan syariat Islam, jilbab adalah simbol utama dari penerapan syariat Islam. Padahal sebetulnya jilbab hanya satu bagian kecil, kontroversial pula, dari keseluruhn konsep ajaran Islam yang demikian luas.
Kedua, dalam sejarahnya, jilbab adalah bentuk pengekakangan terhadap perempuan. Dalam literatur Yahudi, ditemukan bahawa penggunaan jilbab berawal dari peristiwa dosa asal (original sin), yaitu Hawa, isteri Adam, telah berdosa menggoda suminya memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa bersama seluruh kaumnya mendapat kutukan lebih berat. Dalam kitab Talmud, dijelaskan 10 jenis penderitaan yang harus dialami Hawa dan kaumnya, salah satu diantaranya yaitu Hawa harus menjalani siklus menstruasi yang tidqak pernah dialami sebelumnya. Menstruasi mempunyai hubungan erat dengan penggunaan jilbab.
Kalangan ahli antropologi berpendapat, bahwa jilbab dan semacamnya bersumber dari ketabuan menstruasi (menstruasi taboo). Perempuan yang menstruasi diyakini berada dalam suasana tabu. Menurut beberapa kepercayaan, seperti dalam kepercayaan agama Yahudi, perempuan menstruasi harus hidup dlam sebuah gubuk khusus, ada juga di gowa-gowa, seperti di semenanjung Kaukasus. Perempuan haid harus betul-betul diwaspadai. Mereka tidak boleh membaur dengan masyarakat, termasuk keluarga dekat sendiri, pemali melakukan hubungan seks, dan tatapan mata mereka tidak boleh berkeliaran karena akan mengundng mala petaka.
Kemudian penggantian gubuk haid menjadi kerudung merupakan hasil perjuangan perempuan bangsawan. Bagi mereka, perempuan bangsawan tersebut, yang esensi bukanlah sembunyi di balik gubuk haid atau di goa-goa, tapi bagaiamana mengamankan dan menjinakkan tatapan mata. Perempuan bangsawan kemudian mengenakan jilbab sebgai pengganti gubuk haid. Belakangan, perempuan non bngsawan pun melakukn hal yang sama seperti perempuan bangsawan, sehingga gubuk haid berangsur-angsur hilang, jilbab dan kosmetik jadi populer.
Menurut Navabakhsh, jilbab (cadar) adalah bagian tradisi pra-Islam yang ditemukan di lingkungan perempuan bangsawan kelas menangah atas di Syiria dan di kalangn orang-orang Yahudi dan Kristen serta orang-orang Sassanid.[i]
Ketentuan penggunaan jilbab sudh dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Kalau yang dimaksud jilbab adalah penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudh menjadi wacana dalam Code Bilalama (3000 sM.), kemudian dalam Code Hammurab (2000 sM.), dan Code Asyiria (1500 sM.).[ii]
Ketiga, dalam prakteknya, para pendukung syariat Islam seringkali hanya menekankn jilbab, dan mengbaikan persoalan yang lebih substantif, misalnya tentang kesederhanaan. Kewajiban jilbab tidak disertai dengan larangan memakai make up, berdandan, dan memakai perhiasan, yang memungkinkan jilbab dengan berbagai perhiasannya itu lebih menunjukkan praktek hidup mewah. Pdahal inti jilbab tergambr dalam kehidupn kesederhaan dn kerendahan hati.[iii] Pada titik ini, terlihat jelas betapa jilbab hanya menjadi simbol dan mengabaikan semangat yng dikandungnya.

Perdebatan Teologis
Jilbab menjadi demikian hangat dibicarakan, karena memang masing-masing pihak mendapat dukungan teks-teks suci.
Pertama penulis akan sedikit memaparkan pendapat ulama masa lalu yang sampai sekarang masih menjadi rujukan mayoritas ulama. Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pendapat-pendapat para pemikir kontemporer.
Ayat Pertama, yang menjadi bahan diskusi atau dasar dalam penetapan batasan aurat perempuan yaitu surat al-Ahzab ayat 33. Yang artinya:
“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi, kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah. Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang perckapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidk malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti hati rasulullah. Dan tidak pula mengawini isteri-isterinya selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah.”
Dalam hal ini ada dua pokok masalah yang menjadi bahan diskusi para ulama. Pertama, apa yang dimaksud dengan hijab? Kedua, apakah ayat yang memerintahkan hijab itu merupakan ketentuan khusus bagi isteri-isteri Nabi Saw atau mencakup bagi semua perempuan Islam?
Argumentasi masing-masing kelompok ulama yakni yang mengatakan bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat tanpa kecuali, begitu juga yang menyatakan kecuali telapak tangan dan wajah tidak cukup kuat untuk membatalkan pandangan lawannya.
Ayat-ayat dan hadits di bawah ini merupakan landasan yang paling lazim ditemui dalam setiap perdebatan tersebut: (1), QS. Al-Ahzab ayat 53:

Menurut Said al-Asymawi, setidaknya ada tiga produk hukum yang ditimbulkan ayat tersebut di atas: pertama, tentang etika kaum mukmin ketika menghadiri represi pernikahan atau perjamuan lainnya; kedua, anjuran meletakkan hijab atau tirai antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin lainnya; ketiga, larangan mengawini istri-istri Nabi setelah beliau wafat.[iv]
Dalam kontek perdebatan jilbab, kata-kata hijab menjadi sangat penting artinya. Menurut Fatima Mernisi, hijab, secara harfiah, berarti tirai, diturunkan bukan untuk meletakan suatu pembatas antara seseorang laki-laki dan perempuan, namun justru antara dua laki-laki.[v] Turunnya perintah hijab bertepatan dengan suatu kejadian yang melatarbelakangi pewahyuan ayat tersebut, pada tahun 5 Hijrah (627 M).
Dalam hal ini, pengambilan hukum tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks historis bagaimana ayat itu turun, sebab ini nanti akan berkaitan dengan sasaran dan objek hukum ayat tersebut. Pada ayat tentang khimar, misalnya, dikatakan:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali yang bisa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”. (QS., an-Nur ayat 31).
Perintah menutupkan kerudung ke bagian dada lebih sebagai identifikasi diri kaum muslimat yang dibedakan dari kebiasaan non muslimat yang biasa menjumbaikan kerudung ke belakang, sehingga leher dan bagian atas dadanya terbuka. Ayat ini mirip dengan hadis Nabi yang memerintahkan mencukur kumis dan memanjangkan jenggot, hanya untuk membedakan kaum muslim dengan non muslim, yang notabene memiliki kebiasaan sebaliknya, mencukur jenggot dan memanjangkan kumis.6
Lebih jelas lagi pada ayat jalabib berikut ini:
“Wahai Nabi, sampaikanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan perempuan mukminat, agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk. Dan Allah sungguh Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS., al-Ahzab ayat 59).
Konteks sejarah turunnya ayat ini berkenaan dengan tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa melakukan tabazzul, bersenang-senang. Mereka membiarkan muka mereka terbuka sebagaimana hamba sahaya perempuan, dan oleh kondisi tertentu, mereka terpaksa membuang hajat di padang pasir—sebelum adanya toilet di perumahan. Beberapa laki-laki yang nakal sering berprilaku buruk terhadap mereka dengan anggapan mereka adalah hamba sahaya atau golongan yang kurang terhormat. Lantaran mereka merasa diganggu maka mereka melaporkan hal tersebut ke Nabi. Lalu turunlah ayat tersebut untuk membedakan antara wanita mukminat merdeka dan hamb sahaya. Tanda pembedaan itu dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka relatif mudah dikenal dan tidak mendapat perlakuan buruk dari laki-laki. Argumen hukum ayat ini atau maksud ayat ini memanjangkan pakaian itu adalah, untuk membedakan antara perempuan yang merdeka dengan hamba sahaya.7



[i] Nasaruddin Umar, Antropologi Jilbab, Ulumul Qur’an No. 5, Vol. VI, Jakarta: 1996, hlm 38.
[ii] Nasaruddin Umar, Fenomenologi Jilbab, Kompas, 25 November 2002.
[iii] Muhammad Said al-Asymawi, Haqiiqtul Hijaab wa Hujjiyat al-Hadits (Kritik atas Jilbab), terj. Novriantoni Kahar dan Oppie Tj., JIL & TAF, Jakarta 2003, hlm. 88.
[iv] Ibid, hlm. 7.
[v] Fatima Mernisi, Women and Islam: A Historical and Theological Enquiri, terj. Yzian Radianti, Wanita dalam Islam, Cet. I, Pustaka, Bandung: 1994, hal
6 Muhammad Said al-Asymawi, Op. Cit., hlm. 11.
7 Ibid, hlm. 13.

1 comment:

Saidiman said...

selamat memasuki rimba blog, semoga bisa terus menulis dan berkarya